Sabtu, 25 Juni 2011

Sang Putri di Perbatasan

Gunung Lawu (3265 mdpl) merupakan sebuah gunung yang unik. Terletak tepat di perbatasan provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, sang putri ini (sebutan yang diberikan oleh sebagian warga Solo bagi gunung Lawu, karena dari jauh gunung ini nampak seperti putri yang baru bangun tidur) menjadi daya tarik di kalangan para pendaki gunung maupun para pelancong yang kebetulan lewat di kakinya. Tak ketinggalan para penikmat dunia spiritual juga tak pernah absen datang ke gunung ini setiap tahunnya, apalagi kalau bukan mengunjungi beberapa tempat keramat seperti Sumur Jolotundo, Guwo Sigolo-golo, Sendang Drajat dll. Dengan iklim yang sejuk, didukung pemandangan yang luar biasa, Gunung Lawu merupakan pusat keceriaan dan kebahagiaan.



Perjumpaan pertamaku dengan sang putri terjadi tahun 2006. Saat itu aku sedang ada di sebuah kampus di Surakarta untuk mengikuti perlombaan pertolongan pertama. Di jalan depan kampus, tampaklah sang putri dengan rambut-rambut awannya yang tergerai ditimpa mentari pagi. “Tunggulah, aku akan sambangi puncakmu lain waktu”, begitu salamku padanya, sembari menyimpan harapan untuk bisa naik ke sana di saat yang tepat.



5 tahun berlalu setelah perjumpaan pertama dengan sang putri, kakiku telah mengakrabi puncak-puncak gunung lainnya di Jawa Tengah. Hanya sang putri yang belum kukencani. Kesempatan itu pun datang tanggal 21 januari 2011 kemarin. Mas Galih, seniorku di dunia pemandu wisata, mengajakku untuk naik ke sana. Tanpa pikir panjang, ya. Padahal seminggu sebelumnya aku baru saja turun dari puncak Gunung Sindoro. Bukan itu saja, posisiku saat itu ada di Purwokerto, padahal orang yang mengajakku ada di Jogja. Jadilah aku agak kelabakan mempersiapkan peralatan. Untunglah tidak ada masalah (thanks for my edelweiss).



Sore hari itu juga setelah semua perlengkapan siap, aku langsung meluncur ke Jogja menaiki motor kesayanganku, si Vegi, yang kebetulan baru saja di-servis siang harinya. Jadilah pasangan serasi ini melaju ke Jogja, berpacu dengan waktu tapi tetap ingat peraturan lalu-lintas.



Waktu menunjukkan pukul 21.00 saat aku memasuki Jogja. Tadinya aku mau mengambil beberapa peralatan di tempat temanku yang lain, tapi karena waktu sudah malam dan mata yang sudah ingin terlelap, aku langsung mengarahkan si Vegi ke rumah Mas Galih di jalan Magelang. Sesampai di sana, Mas Galih ternyata sedang pergi, jadi aku pun berkeliling mencari toko yang masih buka untuk berbelanja bekal dan mengisi perut.



Beres berbelanja, aku pun segera kembali ke tempat Mas Galih. Di sana ternyata sudah datang juga 2 orang teman lain, Mas Ito dan Mas Eko. Mas Ito merupakan teman Mas Galih semasa kuliah, sementara Mas Eko adalah teman Mas Ito yang katanya baru pertama kali naik gunung. Malam itu kami berempat mengemas ulang peralatan serta membagi peralatan kelompok. Waktu menunjukkan pukul 01.00 saat aku memutuskan untuk tidur, sementara yang lain masih terjaga.



22 Januari 2011, pendakian pun dimulai. Demi sang putri, naik kendaraan umum berganti-ganti rela aku lakoni. Pertama, jam setengah 9 pagi aku dan teman-teman naik bis kecil jurusan terminal Jombor. Dari sana, kami berganti naik bis TransJogja untuk menuju ke stasiun Tugu. Setelah menunggu setengah jam, akhirnya kereta Prameks pun berangkat dari Jogja menuju ke stasiun Solo Balapan. Tepat tengah hari saat kami berempat sedang beristirahat menikmati wedang kacang ijo di sebuah warung kecil dekat stasiun Solo Balapan. Setelah itu, kami kembali naik bis kecil jurusan Palur, katanya 1 teman Mas Galih sudah menunggu di sana untuk ikut naik ke Gunung Lawu. 10 menit menyusuri kota Solo, bis pun berhenti di tempat pertemuan dengan Mas Yoga, teman Mas Galih di Solo yang ternyata seniorku juga di dunia pemanduan. Selepas berkenalan apa adanya, kami segera naik ke bis besar jurusan Tawangmangu. Jam menunjukkan angka 2 saat bis besar yang melaju kencang dari Solo itu berhenti di terminal bis Tawangmangu. Perjalanan belum usai, karena kami masih harus mencarter kendaraan L300untuk sampai ke basecamp pendakian di Cemoro Sewu. Setelah setengah jam L300 yang kami tumpangi merayap di jalanan yang menanjak dan berkelok-kelokdengan sajian pemandangan desa, perkebunan dan lembah indah di beberapa tempat, kami berlima pun sampai di Cemoro Sewu, salah satu basecamp pendakian yang ada di lereng Gunung Lawu.



Selain lewat Cemoro Sewu (±1600 mdpl), pendakian Gunung Lawu juga bisa dilakukan dari Cemoro Kandang yang masing-masing hanya berjarak 500 meter. Bedanya, bila lewat Cemoro Sewu jalan setapak sudah dilapisi dengan batu (makadam), di beberapa tempat bahkan dilengkapi dengan pegangan, maka bila pendakian dilakukan dari Cemoro Kandang medan yang dilalui adalah jalan tanah. Untuk tingkat kesulitan hampir sama, hanya jalur Cemoro Kandang memberikan tantangan lain yaitu jurang-jurang yang menganga di sepanjang jalan setapak yang sempit. Tambahan, Cemoro Kandang masuk ke daerah Jawa Tengah, sementara Cemoro Sewu adalah wilayah Jawa Timur. Fakta ini memunculkan sebuah lelucon, yaitu makan di Jawa Tengah dan ‘buang’ di Jawa Timur atau sebaliknya. Ya, karena 2 jalur pendakian itu bertemu di puncak, dan pendaki bebas berpindah jalur asalkan sudah berkoordinasi dulu dengan petugas basecamp.



Cuaca masih sangat cerah ketika kami menuju ke basecamp pendakian Gunung Lawu untuk mendaftarkan diri. Di dalam basecamp hanya ada 1 orang penjaga, Mas Soleh namanya. Penampilannya cukup unik dengan rambut ala Bob Marley. Menurut dia, ada beberapa kelompok pendaki lain yang sudah ada di puncak sejak kemarin, tapi hanya kelompok kami yang naik hari ini. Karena tubuh yang lemas setelah perjalanan jauh, kami memutuskan untuk tidak langsung naik, tapi menunggu sampai jam 5 sore. Lalu kami pun menghabiskan waktu di warung makan dekat basecamp.



Dengan posisi yang strategis, Cemoro Sewu mempunyai pemandangan yang indah. Jalanan aspal yang mulus berliku melingkari pegunungan dan memperlihatkan jajaran bukit-bukit lain di sebelah selatan. Bagi para pelancong yang kelelahan, daerah sekitar Cemoro Sewu merupakan tempat yang ideal untuk beristirahat karena banyak sekali warung-warung makan yang berjejer di sisi-sisi jalan.



Belum selesai teh panas yang kami nikmati habis, kabut pun turun dan disusul dengan hujan lebat. Pemandangan yang tadinya indah hilang di balik kabut. Pikiranku pun melayang ke cerita dua orang temanku yang berusaha naik ke Gunung Lawu 2 minggu lalu. Mereka berdua dan satu kelompok besar dari Jakarta hanya bisa menunggu di basecamp seharian karena badai menerjang kawasan Cemoro Sewu. Angin bertiup dengan kencang saat itu, dan merubuhkan beberapa pohon di dekat basecamp. Untung saja mereka belum naik saat itu, bila iya mungkin mereka akan mengalami sebuah pengalaman yang tak akan terlupakan.



Tetapi kali ini alam memberiku kesempatan. Jam 4 sore hujan dan kabut yang turun perlahan mulai reda. Lembah dan pegunungan mulai bermunculan kembali di balik kabut, membentuk formasi yang indah. Kami berlima pun segera kembali ke basecamp, bersiap untuk kencan dengan sang putri.



“Teman-teman, mari kita berdoa untuk keselamatan pendakian kita, semoga roh Gunung Lawu memberkati kita”, begitu doa yang diucapkan Mas Galih sebelum pendakian dimulai. Waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore saat kaki kaki kami melangkah pelan ke dalam pelukan sang putri.



Menurut informasi yang kubaca di basecamp, butuh waktu sekitar 6-7 jam untuk sampai ke puncak gunung Lawu yang dikenal dengan sebutan Hargo Dumilah. Tetapi sepertinya akan lebih dari itu, karena baru beberapa menit berjalan sebagian dari kami sudah mulai kelelahan. Sangat mengkhawatirkan karena target camp kami hari itu adalah di Sendang Drajat (±3200 mdpl), sementara kami baru berjalan sekitar 20 menit dari basecamp.



Kami tiba di pos 1 jam 7 malam. Keadaan sudah gelap dan mengharuskan kami memakai penerangan lampu senter. Sambil melangkah pelan tapi pasti, kami menapaki jalan setapak berbatu yang semakin menanjak. Selepas pos 1, aku tak sempat memperhatikan jam, yang jelas kami melangkah dengan kecepatan di bawah normal karena ada 1 orang dari kami yang baru pertama kali naik gunung. Terkadang setelah baru beberapa menit mendaki, kami berhenti lagi menunggu teman yang kerepotan mengatur napas. Tapi hal itu tak mengurangi keceriaan dan kebersamaan diantara kami berlima.



Pos 2 dan Pos 3 pun terlampaui. Tenaga kami akan semakin terkuras karena menurut Mas Ito medan pendakian akan semakin menanjak hingga ke Pos 4. Benar saja, kami pun jadi lebih sering berhenti untuk menata ulang napas yang berantakan. Tapi itu baru permulaan, setelah menikmati beberapa medan bonus dan diskon, lintasan kembali menanjak tajam. Kali ini kami bisa melihat bukit tinggi menjulang yang akan menjadi medan selanjutnya. Tanjakan semakin menggila, sementara Pos 4, apalagi Sendang Drajat, belum kelihatan sama sekali tanda-tandanya. Akhirnya karena perut yang sudah keroncongan, kami pun berhenti untuk memasak makan malam. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah 11 malam saat kami berlima selesai mengganjal perut dengan mi rebus.



Tapi keadaan fisik kami tidak juga bertambah, yang ada malah rasa kantuk. Akibatnya kami berlima pun terpecah. Mas Galih dan Mas Yoga jalan lebih di depan, sementara aku, Mas Eko dan Mas Ito tertinggal di belakang. Sampai di pos 4, kami semakin terpisah jauh. Selain karena rasa kantuk, kelelahan juga diakibatkan medan yang terus menanjak dan zigzag tanpa henti. Kelak saat turun, kami menyebut etape di atas pos 4 itu dengan sebutan “never ending zig-zag”. Memang kami mulai menemukan pegangan dari besi di sepanjang lintasan, tapi begitu tangan kami memegang dan mencoba bertumpu, pegangan itu goyang seakan mau rubuh. Akhirnya kami terus melangkah, gontai dan kadang tertidur sambil berjalan. Hiburan kami hanyalah rembulan yang bersinar menerangi jalan, dan juga siluet bukit-bukit kecil yang terhampar di sisi lain bukit yang kini sedang kami naiki.



Waktu menunjukkan pukul 2 pagi saat aku dan Mas Ito berdiskusi. Lalu setelah berharap agar Mas Yoga dan Mas Galih sudah lebih dulu tiba di Sendang Drajat yang memiliki shelter cukup nyaman dan tidak memerlukan tenda, kami bertiga pun sepakat mendirikan tenda di sebuah pelataran yang sempit di sisi lintasan. Kami mengambil keputusan itu setelah menyadari kami tertinggal cukup jauh di belakang dan karena panggilan kami tak juga disahut oleh mereka berdua.



“Woyo…. Yuhuuuu!!”, kami memanggil-manggil lagi untuk memastikan keberadaan mereka berdua. Namun tidak ada jawaban dan kami pun meneruskan mendirikan tenda milik Mas Galih. Saat tenda sudah setengah jadi, tiba-tiba terdengar panggilan dari atas, itu suara Mas Galih. Karena sudah kepalang tanggung tenda berdiri, aku dan Mas Ito pun menyuruh mereka turun.



Bergegas kami masuk ke tenda karena hawa dingin sudah mencapai tulang. Kami sengaja menyisakan tempat di dalam bagi Mas Yoga dan Mas Galih, siapa tahu mereka mau turun. Setelah posisi nyaman, meski dengan kaki tertekuk karena tenda yang normalnya hanya untuk 2 orang, kami pun terlelap sembari menahan dingin.



Jam 6 pagi saat aku membuka risleting tenda dan menyadari cuaca cukup cerah. Semalam Mas Yoga dan Mas Galih tidak turun, mungkin mereka sudah sampai di puncak sekarang. Aku pun segera bersiap untuk mendaki lagi ke puncak, disusul Mas Ito yang mengeluhkan kakinya kram karena tidur semalam. Sementara Mas Eko memutuskan untuk tidak naik sampai ke puncak karena kondisi fisiknya semakin drop.



Dari tempat kami bertiga mendirikan tenda, ternyata hanya tinggal setengah jam lagi untuk sampai di Pos 5. Medan pun semakain melandai. Aku agak menyesal setelah melihat begitu lapangnya medan di Pos 5. Tapi tak apa, daripada tidur sambil jalan, lebih baik kami mendirikan tenda meski di tempat yang sempit.



Kira-kira 50 meter menjelang Pos 5, kami menemui sebuah cerukan mirip gua yang lumayan dalam di sisi kiri lintasan. Orang-orang menyebutnya sebagai Sumur Jolotundo. Semerbak tercium bau dupa dan kemenyan dari dasarnya, mungkin sisa-sisa orang yang habis bersemadi.



Dari Pos 5 yang letaknya di puncak bukit, aku bisa melihat jalan setapak berbatu yang memanjang sekitar 1 km, dengan lembah yang cukup dalam di sisi kanannya, lalu menghilang lagi di balik bukit. Menurut Mas Ito, Sendang Drajat ada di balik bukit tadi. Benar saja, setelah setengah jam berjalan, kami pun sampai di Sendang Drajat.



Aku agak terkejut melihat ada sebuah warung makan di sana. Meski sebelumnya aku sudah mendengar kabar itu, di sini aku benar-benar kaget saat melihatnya sendiri. Tersedia berbagai macam makanan serta minuman di situ. Pemiliknya pun penduduk lokal yang setiap awal bulan turun dan naik gunung lagi untuk berbelanja barang dagangan. Selain sebuah warung, ada juga wc umum yang kondisinya sudah rusak.



Tepat saat kami sampai di Sendang Drajat, Mas Yoga dan Mas Galih juga sampai di situ setelah mereka naik ke puncak tadi pagi. Semalam mereka ternyata tidak sampai ke Sendang Drajat, tapi meringkuk kedinginan di sebuah pelataran sempit dengan hanya ditemani api unggun tepat 100 meter di atas tempatku, Mas Ito dan Mas Eko mendirikan tenda. Untung saja mereka bisa bertahan sampai pagi, aku dan Mas Eko pun hanya bisa minta maaf pada mereka berdua.



Ada beberapa pendaki lain juga yang mendirikan tenda di Sendang Drajat. Mereka pun baru saja turun dari puncak seperti halnya Mas Yoga dan Mas Galih. Aku dan Mas Ito pun segera melanjutkan perjalanan setelah sebelumnya mengisi air di sumber mata air yang ada di Sendang Drajat. Sementara itu, Mas Yoga dan Mas Galih akan turun sampai ke tempat tenda semalam didirikan untuk melihat kondisi Mas Eko.



Cuaca mulai berkabut saat kami melangkah meninggalkan Sendang Drajat. Dari sini ada 2 pilihan jalur bagi para pendaki untuk sampai di puncak tertinggi gunung Lawu. Yang pertama adalah mengambil jalan setapak yang terus naik hingga sampai ke puncak. Pilihan berikutnya adalah melewati puncak Hargo Dalem dengan mengambil jalan ke kanan yang lumayan landai. Jalur keduanya akan bertemu kembali kira-kira 50 meter menjelang puncak Hargo Dumilah, puncak tertinggi Gunung Lawu.



Kami berdua memilih langsung naik ke puncak. Medan yang tadinya landai berubah menanjak lagi. Tapi kali ini kami dihibur oleh rumpun-rumpun edelweiss yang semerbak meski tanpa bunganya. Aku coba mencari-cari siapa tahu ada bunga yang mekar, bukan untuk memetik tapi untuk melihat warna ungu dari bunganya yang langka itu. Ya, edelweiss dari Lawu memang unik karena warna ungu pada kelopak bunganya. Tapi kini mereka semakin langka karena terus dipetik oleh para pendaki yang rasa kagumnya terlalu berlebihan.



Jam setengah 9 pagi saat kami berdua bersalaman dan saling mengucapkan selamat. Kini kaki-kaki kami sudah sampai di puncak Hargo Dumilah, puncak tertinggi sang putri perbatasan. Tak sia-sia juga kami berjalan gontai semalaman untuk sampai di sini. Sayang, kabut masih menutup sehingga kami tak bisa melihat pemandangan di sekitar puncak. Butuh waktu 30 menit sebelum akhirnya kabut terkuak dan menyajikan kami pemandangan khas negeri di awan. Langit biru bersih dengan garis-garis awan putih tipis, sementara gumpalan-gumpalan awan besar terserak di bawah puncak, seakan membuat Hargo Dumilah adalah pulau di tengah lautan. Pohon-pohon cantigi pun terlihat memenuhi lembah-lembah di sekitar puncak.



Dari puncak, terlihat beberapa dataran yang cukup luas. Yang terletak di sebelah kiri puncak adalah kawah mati, sementara di sebelah kanan puncak terlihat jalur Cemoro Kandang dan Pasar Dieng yang terkenal bisa mengabulkan keinginan seseorang apabila menuliskan keinginannya pada salah satu batu yang terserak disana. Terlihat juga beberapa bangunan permanen yang merupakan tempat persemadian bagi para peziarah.



Lengkap sudah pendakianku di Jawa Tengah, ditandai dengan berkibarnya bendera merah putih yang sudah lebih dulu kukibarkan di puncak-puncak tertinggi lainnya di Jawa Tengah. Mereka semua adalah Gunung Slamet, Gunung Sindoro dan Sumbing, Gunung Merapi dan Merbabu, serta akhirnya di Gunung Lawu. Syukur tak terhingga aku panjatkan kehadirat-Nya sehingga aku bisa sampai ke puncak Gunung Lawu dengan lancar, mengingat sebelumnya temanku tak berhasil akibat cuaca buruk.



Aku dan Mas Ito pun segera turun setelah mendokumentasikan diri di puncak Hargo Dumilah. Dibutuhkan hanya 30 menit bagi kami untuk sampai kembali di tempat kami mendirikan tenda tadi malam. Di sana terlihat Mas Eko sudah kembali fit, juga Mas Galih dan Mas Yoga yang sedang menikmati minuman panas. Aku dan Mas Ito segera bergabung dengan mereka untuk bercerita pengalaman mendaki semalam, sambil sesekali meledek Mas Eko yang tidak bisa sampai ke puncak.



Waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 saat kami memulai perjalanan turun yang tak panjang dan tak kalah melelahkan. Naik memang siksaan, tapi turun bukanlah sebuah hiburan. Seperti halnya hidup ini, kita tak boleh terlalu bangga saat ada di puncak sebuah kesuksesan, tapi harus terus berusaha mencapai yang terbaik.

stairway to sendang drajat